Kamis, Juni 20, 2013

Masih Banyak Anak Indonesia Terlahir untuk Mati by dr. Erta Priadi Wirawijaya (Pengurus www.dib-online.org )

Masih Banyak Anak Indonesia Terlahir untuk Mati

Melalui tulisan ini saya ingin mencoba berbagi pengalaman saya sebagai dokter terkait besarnya permasalahan kesehatan Indonesia. Kisah kali ini seorang anak yang baru masuk SMP yang datang dibawa orang tuanya dari Garut Selatan ke Rumah Sakit Hasan Sadikin, sebuah rumah sakit rujukan utama untuk Jawa Barat. Sang anak mengeluh sesak, mulut dan ujung jarinnya tampak kebiruan. Menurut orangtuanya saat anaknya masih kecil seorang Dokter Anak sudah pernah mengatakan bahwa anaknya punya penyakit jantung bawaan dan ada kebocoran di jantungnya. Dokter tersebut menyarankan agar sang anak dibawa pergi berobat ke RS Harapan Kita di Jakarta. Rumah Sakit Harapan kita terhitung jauh dari kampung sang ibu dan keluarganya tidak memiliki banyak uang saat itu. Keluhan sang anak saat itu hanyalah sering batuk pilek - sebuah keluhan yang dianggap biasa dialami seorang anak. Dalam kesehariannya sang anak tidak banyak mengeluh sehingga seiring waktu sang ibu mulai melupakan penyakit jantung yang diderita anaknya dan tidak kunjung membawa anaknya untuk berobat.

Saat sang anak mulai sekolah di SMP sang ibu mulai menyadari bahwa anaknya gampang sesak bila harus berolahraga, bibir dan ujung jarinya tampak kebiruan hingga akhirnya dibawalah sang anak ke RS setempat dan dirujuklah ke RSHS. Setelah menjalani sejumlah pemeriksaan disimpulkanlah bahwa sang anak memiliki sebuah penyakit yang dikenal dengan Sindrom Eisenmenger. Penyakit ini timbul akibat kerusakan paru permanen akibat tingginya tekanan darah di paru yang timbul akibat kebocoran jantung yang dibiarkan berlangsung lama. Pada kasus seperti ini tidak ada lagi yang bisa kita lakukan. Kita hanya bisa berupaya meringankan keluhan sang anak hingga tiba waktunya dipanggil Yang Maha Kuasa. Sebagai dokter kami harus bisa mengkomunikasikan berita buruk itu sehingga sang ibu bisa menerima keadaan sang anak dengan iklas dan tidak menyalahkan dirinya.

Kasus yang saya ceritakan diatas sebenarnya termasuk kasus sederhana defek sekat antar bilik jantung,  yang jika terdeteksi lebih awal dapat dilakukan tindakan intervensi agar sang anak bisa sembuh, tumbuh sehat, dan memiliki masa depan. Namun pada kenyataannya hal tersebut sukar untuk dilakukan karena tidak semua orang mampu dan tidak semua orang miskin terjamin oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JAMKESMAS). Kartu jaminan kesehatan ini diberikan dalam jumlah yang terbatas untuk masyarakat tidak mampu, namun seringkali pemberiannya tidak tepat sasaran dan mereka yang justru benar membutuhkan tidak mendapatkannya. Bagi mereka yang memiliki  JAMKESMAS pun seringkali merasa tidak mampu untuk pergi dan menginap di Jakarta. Sehingga di Indonesia mereka yang kurang beruntung harus berupaya keras mengumpulkan dana kesana-kesini hingga tindakan yang pada prinsipnya sebaiknya dikerjakan lebih cepat lebih baik dapat tertunda hingga berbulan-bulan.

Dengan kemajuan teknologi kedokteran pada kelainan jantung bawaan seperti ini sebenarnya sang anak tidak harus menjalani operasi seperti dulu. Kebocoran antara ruang jantung yang dimiliki dapat “ditambal” melalui sebuah prosedur pemasangan sekat buatan, pada kasus si anak melalui pemasangan Amplatzer Septal Occluder (ASO) yang relatif cepat dikerjakan dan nyaman untuk sang anak. Problemnya adalah tindakan ini membutuhkan keahlian khusus dan peralatan mahal yang tidak banyak tersedia di rumah sakit pemerintah. Kalaupun ada Rumah Sakit Pemerintah yang mampu mengerjakannya, anggaran yang disediakan pemerintah untuk membayar tindakan ini sangatlah kecil sehingga untuk menekan biaya Rumah Sakit dipaksa untuk menggunakan Alat Kesehatan yang dicuci / disterilisasi berulang. Hal ini seharusnya tidak dilakukan karena kemungkinan alat tersebut rusak semakin tinggi dan risiko timbulnya komplikasi semakin besar.

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia angka kejadian penyakit jantung bawaan (PJB) di Indonesia diperkirakan sekitar 8 orang tiap 1000 kelahiran hidup. Jika penduduk Indonesia berjumlah 237 juta maka penduduk Indonesia yang memiliki PJB diperkirakan berjumlah sekitar 2 juta orang. Dengan asumsi angka kelahiran Indonesia sekitar 2%/tahun maka setiap tahunnya ada 38 ribu bayi yang dilahirkan dengan penyakit jantung bawaan. Hingga saat ini belum ada data yang jelas mengenai jumlah operasi jantung bawaan yang dikerjakan di Indonesia dan berapa banyak anak yang harus kehilangan nyawanya seperti kasus diatas. Satu hal yang pasti fasilitas pelayanan kesehatan yang bisa menangani permasalahan jantung anak secara paripurna masih jarang di Indonesia dan umumnya masih terpusat di kota-kota besar seperti Jakarta.

Kasus diatas menceritakan anak dengan PJB sederhana yang sebenarnya dapat kita tolong. Terdapat berbagai macam jenis PJB, ada yang begitu lahir langsung meninggal, ada yang harus menjalani masa kecilnya sakit-sakitan, dan ada yang tampaknya tidak sakit apa-apa baru dan saat keluhan mulai terasa berat segalanya sudah terlambat. Anak Indonesia adalah masa depan bangsa ini, jika mereka sakit mereka sepatutnya mendapatkan bantuan dan pengobatan terbaik yang bisa diberikan negara ini. Pada kenyataannya saat ini banyak anak Indonesia yang sakit berat - tidak hanya akibat penyakit jantung, namun mereka tidak mendapat pengobatan seharusnya karena biaya yang dianggap terlalu besar oleh negara. Dalam sakitnya merekapun harus kesulitan mencari tempat perawatan dan bagi mereka yang kurang beruntung harus rela dirawat di RS pemerintah yang kadang kotor, sumpek dan bagi kebanyakan orang berada bisa jadi dianggap tidak manusiawi. 

Untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan yang baik World Health Organization (WHO) menyarankan agar setiap negara mengalokasikan setidaknya 5% dari GDP untuk anggaran kesehatan, ini adalah nilai minimal karena rata-rata negara di dunia sudah mengalokasikan 10% dari GDP untuk kesehatan. Jika GDP Indonesia saat ini sekitar 7000 Trilyun, maka seharusnya anggaran kesehatan Indonesia sekitar 350 Trilyun / tahun. Berdasarkan UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 171 anggaran kesehatan Indonesia seharusnya minimal 5% dari APBN dan minimal 10% dari APBD. Berdasarkan hal tersebut jika anggaran belanja untuk 2013 adalah 1683 Trilyun maka seharusnya pemerintah mengalokasikan 84 Trilyun untuk kesehatan. Tapi kenyataannya pemerintah hanya mengalokasikan 34 Trilyun untuk departemen kesehatan tahun ini - hanya 10% dari nilai yang disarankan WHO. Akibat rendahnya anggaran kesehatan Indonesia yang menahun ini ini Infrastruktur dan Fasilitas pelayanan kesehatan kita saat ini sudah jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga. 

Permasalahan kesehatan Indonesia saat ini sangatlah besar, Indonesia sudah berulang kali gagal mencapai target-target pembangunan dibidang kesehatan. Hal ini sepatutnya mendapat diketahui semua masyarakat Indonesia dan mendapat perhatian lebih dari semua pihak yang perduli akan masa depan anak bangsa. Mereka yang mampu dan mereka yang membuat kebijakan memiliki pilihan untuk berobat ke RS Swasta atau bahkan berobat ke luar negeri, tapi bagi kebanyakan masyarakat Indonesia mereka harus puas dengan pelayanan kesehatan yang sebenarnya sub-standar. Hal ini adalah sesuatu yang sebenarnya tidak bisa diterima karena pembinaan dan pengelolaan kesehatan bangsa ini adalah kewajiban pemerintah Indonesia. 

Terkait hal tersebut diawal tahun 2014 pemerintah berencana untuk memberikan pelayanan kesehatan gratis untuk seluruh warga negara Indonesia. Nantinya setiap warga negara yang mampu diwajibkan untuk membayarkan sekitar 5-6% dari penghasilan bulanannya untuk membayar premi Sistem Jaminan Sosial Nasional. Sementara mereka yang tidak mampu akan dibayarkan pemerintah sebesar Rp. 15.500,- per orang / bulan. Nilai ini jauh dari nilai ideal keekonomian yang ideal menurut Ikatan Dokter Indonesia sebesar Rp 60,000.- dan kembali menunjukkan tidak seriusnya pemerintah menempatkan kesehatan sebagai prioritas dalam pembangunan Indonesia.

Dengan infrastruktur pelayanan kesehatan yang masih terbatas, tidak seriusnya pemerintah dan tanpa dukungan anggaran yang cukup maka dapat dipastikan bahwa program SJSN tahun 2014 akan dihadapkan pada kekacauan dan kegagalan. Sehingga lagi-lagi akan ada banyak anak Indonesia yang terlahir untuk mati. 

Hal ini sebenarnya dapat dicegah, pertanyaannya apakah pemerintah mau menempatkan kesehatan sebagai prioritas pembangunan negara ini atau tidak?

www.dib-online.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar