Ada seorang wanita yang bertanya kepada seorang ustadz. Obrolan mereka sebagai berikut: Saya seorang wanita yang sudah menikah. Saya tidak tahu banyak tentang laki-laki ini sebelum menikah, karena dijodohkan orangtua dan orangtua saya selalu berkata bahwa laki-laki ini baik dan mapan.
Pada awal pernikahan. Demi bakti saya pada orangtua, saya pun menikah dengannya. Namun setelah menjalani pernikahan, saya menemukan banyak kejanggalan dari sukahan, suami saya banyak melalaikan shalat. Awalnya beralasan lupa, dan shalat di rumah, itupun sering di akhir waktu shalat.
Tapi lama-lama, ia semakin melalaikannya dan sekarang tidak shalat sama sekali. Jika saya mencoba mengingatkan, maka dia akan marah dan memukuli saya. Saya pernah membaca bahwa status pernikahan bisa batal karena suami meninggalkan shalat, benarkah itu?
Ustadz menjawab sbb: Pada pembahasan terdahulu tentang Hukum Meninggalkan Shalat, maka sudah jelas hukumnya bahwa seseorang yang meninggalkan shalat secara sadar dan sengaja karena enggan, menolak kewajiban, atau malas, maka ia dihukumi kafir, murtad, dan keluar dari Islam.
Maka dalam hal ini berlaku juga hukum-hukum bagi orang yang telah keluar dari Islam (murtad).Di antara hukum-hukum tersebut ada yang terkait dengan status pernikahan. Orang yang murtad, maka ia tidak boleh menikah dengan seorang muslimah. Jika sampai terjadi akad nikah, maka akad tersebut tidak sah.
Dan bila ia meninggalkan shalat setelah akad nikah, maka pernikahannya menjadi gugur secara otomatis alias pernikahannya batal secara agama dan isterinya menjadi tidak halal baginya. Wajib bagi seorang wanita untuk menjauh dari suaminya yang meninggalkan shalat dan kembali kepada walinya, sampai suaminya mau bertaubat dan shalat.
Sebagaimana terdapat dalam firman Allah :
ا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (١٠)
Artinya : “maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka” (Al Mumtahanah : 10)
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bila seorang suami yang tadinya meninggalkan shalat, lalu ia bertaubat dan ingin rujuk kepada istrinya, maka harus dengan akad baru. Wallaahu alam.[ ]
Dikutip dari Risalah Shifat Shalatin Nabi, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal 29-30. Lihat juga di Fatwa-Fatwa Terkini jilid 1, Penerbit Darul Haq, halaman 186-190. (mozaik)