Selasa, Desember 06, 2016

GHIBAH

GHIBAH

<Ustâdz Firanda Andirja>

بسم الله والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Dari Shohâbat Abû Huroiroh رضي الله عنه, bahwa Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم pernah bersabda:

أَتَدْرُونَ مَا اَلْغِيبَةُ ؟ قَالُوا : اَللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ، قِيلَ : أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اِغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَقَدْ بَهَتَّهُ ، أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
(arti) “Tahukah kalian apa itu ghibah?”
Para Shohâbat menjawab: “Allôh dan Rosûl-Nya yang lebih mengetahui.”
Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم mengatakan: “Kamu menyebutkan tentang saudaramu apa yang tidak ia sukai untuk disebutkan.”
Maka dikatakan kepada Nabî: “Seandainya yang aku ucapkan tentang saudaraku itu benar adanya, bagaimana menurut anda, wahai Rosûlullôh?”
Kata Rosûlullôh: “Kalau apa yang kamu ucapkan tentang saudaramu itu benar, maka itulah ghibah, kalau ternyata yang kamu ucapkan itu tidak benar, maka kamu telah berdusta atas dirinya.” [HR Muslim no 2589].

Hadîts ini menjelaskan tentang bahayanya ghibah, dan ini bukan perkara yang ringan, tetapi perkara yang berat. Bahkan الله menyebutkan secara khusus dalam al-Qur-ân:

وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ
(arti) “Janganlah sebahagian dari kalian mengghibahi sebahagian yang lain. Apakah salah seorang dari kalian suka memakan daging bangkai saudaranya? Tentunya kalian akan benci.” [QS al-Hujurôt (49) ayat 12].

Ghibah adalah dosa besar, karena الله Subhânahu wa Ta‘âla menyamakan ghibah dengan memakan bangkai manusia, bangkai saudara sendiri. Kita tidak boleh merusak mayat seorang Muslim, apalagi kalau kita makan, dan ini adalah perkara yang besar. Oleh karenanya, para ‘ulamâ’ menyatakan bahwasannya ghibah adalah dosa besar.

Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم membuka hadits ini dengan pertanyaan: “أَتَدْرُونَ مَا اَلْغِيبَةُ؟” – “Tahukah kalian apakah itu ghibah?”. Ghibah secara bahasa artinya ghoib, yaitu sesuatu yang tidak kelihatan, kenapa?

Karena kalau seseorang sedang mengghibahi saudaranya, saudaranya tersebut sedang tidak hadir (ghoib), sehingga tidak bisa membela dirinya. Kalau istilah kita: “diomomgin di belakang keburukannya, tidak di hadapannya”.

Kalau di hadapan namanya bukan ghibah tapi mencela atau mencaci.

Ketika ditanya oleh Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم, para Shohâbat menjawab: “Allôh dan Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم yang lebih tahu” – ini adalah salah satu metode dalam pengajaran, yaitu dengan bertanya sehingga yang ditanya akan memberi perhatian secara khusus.

Kemudian setelah itu Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم menjelaskan tentang makna ghibah secara syar‘i, yaitu: “ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ” – “kamu menyebutkan tentang saudaramu apa yang ia tidak suka untuk disebutkan”.

Maksud saudaramu di sini adalah saudara sesama Muslim, oleh karenanya para ‘ulamâ’ mengatakan kalau mengghibahi Nashrôni atau Yahûdi itu bukanlah ghibah secara syari‘at, karena mereka bukan saudara – yang bersaudara adalah kaum Mu’minîn:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
(arti) “Sesungguhya kaum Mu’minîn adalah bersaudara.” [QS al-Hujurôt (49) ayat 10].

Maka, selain Muslim bukanlah saudara. Mungkin kita saudara satu negeri, atau satu nasab, tetapi yang hakiki ia bukanlah saudara. Saudara seorang Muslim hanyalah orang Islâm.

Kemudian dalam hadîts disebutkan: “Apa yang tidak ia sukai untuk disebutkan”. “Ma” di sini adalah isim maushul yang dalam kaidah ushul fiqih mengandung atau mencakup keumuman. Jadi menyebutkan tentang saudaranya apa yang tidak sukai secara umum, apa saja, baik berkaitan dengan badannya, dengan ‘ilmunya, akhlaqnya, sikapnya, istrinya, anaknya, nasabnya, warna kulitnya, seluruhnya.

Dengan mengatakan: “si Fulân ini hitam”, maka ini sudah mengghibah, karena ia tidak suka dibilang hitam. Atau mengatakan: “si Fulân itu pendek”, itu sudah mengghibah. “Si Fulân telmi”, itu juga megghibahinya, semuanya. “Si Fulân itu istrinya cerewet”, sama, itu juga megghibah menyangkut istrinya. “Si Fulân itu anaknya nakal”, itu sudah mengghibah karena ia tidak suka disebut anaknya nakal.

Menyebutkan semua (segala) perkara yang tidak sukai untuk disebutkan hukumnya adalah harôm, karena termasuk ghibah, dan ia merupakan dosa besar. Maka tatkala Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم ditanya:

أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ ؟
(arti) “Bagaimana jika yang saya ucapkan tentang keburukan sadara saya itu memang benar adanya?”

Kata Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم:

إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اِغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَقَدْ بَهَتَّهُ
(arti) “Jika yang kamu katakan itu benar, maka itulah ghibah, jika yang kamu katakan itu tidak benar, maka kamu telah berdusta tentangnya.”

Jadi kalau seseorang mengatakan: “apa yang saya katakan itu benar lho”, maka justru itu yang namanya ghibah. Kalau ternyata bohong, maka terkumpul dua dosa, pertama dosa ghibah (dosa besar), dan yang kedua dosa berbohong yang juga dosa besar. Malah lebih parah lagi kalau tidak benar.

⚠ Yang benar saja tidak boleh dan dikatakan ghibah, apa lagi jika tidak benar.

Dalil yang menunjukkan ghibah adalah dosa besar adalah sebagaimana disebutkan bahwa الله menyamakan ghibah dengan memakan daging bangkai saudaranya. Kemudian, di antaranya juga dalam hadîts, bahwa Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم waktu Isro’ – Mi’roj melihat:

عُرِجَ بىِ مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍيَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَ صُدُوْرَهُمْ
(arti) “Ada sebahagian orang yang memiliki kuku-kuku yang terbuat dari logam tembaga, dan mereka mencakar-cakar wajah dan dada mereka.”

Maka Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم bertanya:

فَقُلْتُ : مَنْ هَؤُلاَءِ يَا جِبْرِيْلُ ؟
(arti) “Siapakah yang mencakar-cakar wajah dan dada itu, ya Jibrîl?”

Maka kata Jibrîl عليه السلام:

هَؤُلاَءِ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسِ وَ يَقَعُوْنَ فىِ أَعْرَاضِهِمْ
(arti) “Meraka adalah orang-orang yang memakan daging saudaranya.” [HR Abû Dâwûd no 4878; Ahmad III/ 223 ~ dinilai shohîh oleh Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî].

Jadi ini adalah dalil bahwa ghibah mendapatkan siksaan secara khusus.

Ikhwan dan akhwat yang semoga dirahmati oleh الله Subhânahu wa Ta‘âlâ, di antara dalil yang menunjukkan ghibah adalah dosa besar yaitu hadîts tentang Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم ketika melewati dua kuburan, kemudian Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم mengatakan:

إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ
(arti) “Sesungguhnya kedua orang ini diadzab dalam kuburnya.”

Kemudian Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم menjelaskan:

أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنَ الْبَوْلِ، وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ
(arti) “Adapun yang pertama, ia tidak bersih tatkala buang air kecil, dan yang kedua ia suka berjalan ke sana ke mari dalam rangka mengadu domba.”

Dalam riwayat yang lain disebutkan: “Yang pertama disiksa karena ghibah”.

Dalam riwayat yang masyhur, karena namimah, tetapi dalam riwayat yang lain oleh Abû Dâwûd disebutkan karena ghibah. Namun para ‘ulamâ’ seperti Ibnu Hajar, menjama’ bahwa di dalam namimah juga ada ghibah tentunya, karena namimah itu seseorang berjalan ke sana-ke sini mengadu domba, tentunya dengan menjelek-jelekkan yang lainnya.

Jadi dalam namimah itu sudah ada ghibah – ghibah plus mengadu domba, dan ternyata benar, dengan ghibah banyak terjadi pertikaian. Apalagi kalau ghibah tersebut sampai kepada orang yang dighibahi, maka akan terjadi pertikaian (permusuhan). Jadi wajar jika ghibah menjadi salah satu sebab diadzabnya seseorang di dalam kubunya.

⚠ Ini menekankan kepada kita bahwa ghibah hukumnya harôm.

Selanjutnya adalah kondisi-kondisi di mana diperbolehkan ghibah. Ketauhilah bahwasanya ghibah hukumnya harôm kalau tujuannya hanya sekedar untuk mencela dan menghina orang lain dan merendahkan orang lain. Tetapi kalau dalam ghibah tersebut ada kemaslahatan, baik kemaslahatan berkaitan dengan banyak orang atau sebahagian orang atau terhadap individu tertentu, maka ini diperbolehkan – bahkan dianjurkan.

Oleh karenanya, para ‘ulamâ’ menyebutkan ada beberapa hal yang diperbolehkan ghibah sebagaimana disebutkan dalam sebuah sya‘ir, bahwasanya pencelaan bukanlah ghibah dalam enam perkara, yaitu:

Ke-① │ Orang yang mengadu karena ia dizhôlimi, dan ia ingin terhilangkan kezhôliman terhadapnya itu.

Ke-② │ Orang yang ingin memperkenalkan seseorang orang yang mungkin memiliki sifat-sifat tertentu – dengan mengatakan orang yang buta atau orang yang pendek misalnya, bukan untuk mencela, tetapi dalam rangka untuk memperkenalkan siapa orang tersebut.

Ke-③ │ Orang yang menyebutkan keburukan dalam rangka untuk memperingatkan bahayanya seseorang atau memperingatkan bid‘ahnya seseorang.

Ke-④ │ Orang yang menampakkan kefasiqannya, kemaksiyatannya, kebid‘ahnya secara terang-terangan – maka ini juga boleh dighibahi.

Ke-⑤ │ Orang yang meminta fatwa yang mengharuskan bertanya, dan ia menyebutkan masalah yang ia hadapi yang ternyata masalah tersebut berkaitan dengan kejelekan orang lain.

Ke-⑥ │ Orang yang meminta bantuan dalam rangka untuk menghilangkan suatu kemungkaran.

Ini 6 perkara yang disebutkan oleh para ‘ulamâ’ yang diperbolehkan di dalamnya ghibah. Kita perinci, ikhwan dan akhwat yang semoga dirahmati oleh الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:

① │ Orang yang mengadu
Seseorang yang mengadu kepada hakim, qodhi, polisi, atau kepada penguasa karena dizhôlimi – ia mengadu kepada orang yang menurut persangkaannya bisa menghilangkan kezhôliman tersebut.

Tatkala itu, ia harus ghibah, karena kalau ditanya siapa yang menzhôlimi dirinya, ia harus sebutkan bahwa si Fulân telah menzhôliminya. Maka dalam kondisi ini ia boleh menghibah, karena dalam kondisi darurat, dan kita punya kaidah: “الضرورات تبيح المحظورات” – dalam perkara yang darurat bisa menghalâlkan perkara yang terlarang.

Sebagaimana seseorang yang dalam kondisi lapar, tidak ada makanan kecuali daging babi atau daging bangkai, maka ia boleh makan daging tersebut. Karena kalau ia tidak makan, ia akan mati.

Jadi demikian juga dengan ghibah.

Pada 6 perkara yang diperbolehkan ghibah, semuanya dalam perkara darurat, dan ada maslahatnya.

② │ Orang yang minta fatwa
Jadi kalau ada seorang datang ke ustâdz minta fatwa, kemudian ia bercerita sedang ada masalah.

Akan lebih baik memang jika bisa hanya dengan memberi isyarat dengan mengatakan: “bagaimana hukumnya jika seseorang yang istrinya demikian dan demikian”. Atau seorang perempuan bertanya bagaimana hukum seorang perempuan yang suaminya demikian dan demikian.

Namun kalau mau menjelaskan dengan detail dengan menyebutkan orangnya, juga tidak jadi masalah. Karena bisa jadi ustâdz atau ‘ulamâ’ yang dimintai fatwa mempunyai pandangan tersendiri tatkala ia mengetahui yang menghadapi masalah ternyata si penanya langsung. Apalagi ia mengenal betul suami dari perempuan yang mengadu tersebut, atau ia mengenal betul istri dari suami yang mengadu tersebut.

Seandainya bisa di sembunyikan namanya, maka itu lebih baik. Namun terkadang menjelaskan dengan detail akan lebih maslahat agar fatwanya lebih jitu dan lebih baik. Dalilnya, perkataan Hindun bintu Utbah, yaitu istri dari Abû Sufyân رضي الله عنه, di mana Hindun bintu Utbah pernah mengadu minta fatwa kepada Nabî صلى الله عليه و سلم, ia berkata:

يا رسول الله إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ، فَأَحْتَاجُ أَنْ آخُذَ مِنْ مَالِهِ ، قَالَ : خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
(arti) “Wahai Rosûlullôh, sesungguhnya Abû Sufyan, yaitu suamiku, adalah seorang yang pelit. Apakah tidak mengapa jika aku mengambil dari hartanya yang cukup untuk diriku dan untuk anak-anakku?”
Maka Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم menjawab: “Silahkan ambil dengan cara yang baik, dengan cara yang wajar, tidak boleh berlebih-lebihan.” [HR al-Bukhôrî no 7180].

Di sini Hindun bintu Utbah sedang mengghibahi suaminya, ia sebutkan tentang kejelekan suaminya yang pelit, dan tidak mengapa ia sebutkan kepada Nabî, karena Nabî tahu betul siapa Abû Sufyân, yaitu mertua Nabî صلى الله عليه و سلم (karena di antara istri-istri Nabî adalah Romlah binti Abû Sufyân). Maka tatkala disebutkan namanya, Nabî langsung tahu karena kenal betul karakter Abû Sufyân. Sehinga dalam hal ini, Hindun bintu Utbah tidak mengapa menjelaskan langsung nama suaminya, karena hal itu akan lebih detail dan lebih bermanfaat fatwanya.

③ │ Orang yang memperingatkan keburukan
Seperti kisah Fâthimah bintu Qois رضي الله عنها, tatkala ia habis masa iddahnya, maka ada 2 orang Shohâbat yang hendak menikahinya, yaitu Abû Jahm dan Mu‘âwiyah. Fâthimah bintu Qois pun datang kepada Nabî صلى الله عليه و سلم untuk bertanya akan hal tersebut. Maka Nabî صلى الله عليه و سلم memberi peringatan:

أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتَقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لاَ مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْ د
(arti) “Abû Jahm yang melamarmu, ia adalah seorang laki-laki yang tidak pernah melepaskan tongkatnya dari pundaknya (yaitu suka memukul istri). Adapun Mu‘âwiyah adalah seorang yang miskin tidak punya harta. Nikahlah dengan Usâmah ibn Zaid.” [HR Muslim no 1480].

Di sini Nabî صلى الله عليه و سلم menyebut keburukan Abû Jahm, di mana di antara sifatnya adalah suka memukul perempuan (istrinya). Nabî صلى الله عليه و سلم juga menyebutkan tentang Mu‘âwiyah yang di antara keburukannya adalah miskin, tidak punya uang, susah untuk menafkahi istrinya. Nabî صلى الله عليه و سلم mengghibahi kedua orang itu, namun tidak mengapa karena demi kemaslahatan Fâthimah bintu Qois. Jadi ghibah seperti ini diperbolehkan untuk memperingatkan.

Kalau misalnya ada seseorang yang datang kepada kita, kemudian ia berkata: “Bagaimana menurut anda bila laki-laki ini melamar anak saya?”

Kalau kita tahu laki-laki tersebut buruk, kita beri tahu: “Jangan, ia begini dan begitu”.

Atau ada seorang datang kepada kita, kemudian berkata: “Saya ingin bermu‘amalah dengan si Fulân, saya ingin kongsi dagang, ingin mudhorobah dengan si Fulân, bagaimana menurutmu?”

Maka kita harus berusaha memberikan nasihat yang terbaik baginya. Kalau orang yang ditanyakan itu buruk, maka kita harus peringatkan, kita ghibahi tidak jadi masalah karena ini demi kemaslahatan.

Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم menyebut keburukkan Abû Jahm dan Mu‘âwiyah, dan ini merupakan ghibah, tetapi demi kemaslahatan Fâthimah bintu Qois.

Maka bagaimana lagi jika terjadi kebid‘ahan yang tersebar di masyarakat, kesyirikan, atau pemikiran yang menyimpang, maka tidak mengapa jika kita memperingatkan, membantah orang tersebut, mengghibah mereka terang-terangan – karena demi kemaslahatan banyak orang. Lebih utama untuk dighibahi karena dalam rangka untuk menjelaskan kepada ummat. Kalau tidak dibantah, tidak dijelaskan kesalahannya, maka tentunya ummat akan banyak terjerumus dalam kemudhorotan.

④ │ Orang yang menampakkan kefasiqan
Orang ini menampakkan kefasiqan, tidak malu ia menampakkan kebid‘ahannya, maka tidak mengapa ghibah terhadapnya karena ia telah menampakkan keburukannya. Dighibahi atau tidak dighibahi ia sudah sering menampakkan keburukannya.

Oleh karenanya, tatkala ada seorang meminta ijin untuk bertemu dengan Nabî صلى الله عليه و سلم, maka Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم berkata:

ائْذَنُوا لَهُ فَبِئْسَ ابْنُ الْعَشِيرَةِ ". أَوْ " بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ
(arti) “Ijinkan ia untuk bertemu denganku, sesungguhnya ia adalah seorang yang paling buruk di kabilahnya.”

Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم menyebut keburukannya dengan mengatakan: “Orang yang paling buruk di kabilahnya”, maka orang itu pun berbicara dengan Nabî.

Tatkala ia ada di hadapan Nabî, Nabî tersenyum, Nabî ramah, karena untuk menghindari keburukan orang ini. Setelah ia pergi, maka Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم mengatakan kepada ‘Â-isyah:

إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ تَرَكَهُ ـ أَوْ وَدَعَهُ ـ النَّاسُ اتِّقَاءَ فُحْشِهِ
(arti) “Sesungguhnya orang yang paling buruk pada Hari Qiyâmat kelak di sisi Allôh adalah yang ditinggalkan manusia karena keburukan lisannya.” [HR al-Bukhôrî no 5666 (Fath al-Bâri no 6131)].

Rupanya orang ini lisannya buruk, namun Nabî bersenyum-senyum kepadanya, berlemah-lembut dalam rangka untuk menghindari kesalahan, karena bisa jadi orang ini akan menjelek-jelekkan Nabî di kemudian hari misalnya. Di sini Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم mengghibah orang ini, kenapa?

Karena orang ini menampakkan keburukannya.

Oleh karenanya, kalau ada orang misalnya menampakkan kefasiqan di TV, menampilkan aurotnya, atau melakukan kefasiqan-kefasiqan yang lain, maka orang tersebut tidak mengapa dighibahi atas apa yang mereka lakukan tersebut. Karena mereka sendiri menampakkan keburukan mereka secara terang-terangan, bahkan di antara mereka bangga dengan kemaksiyatan yang mereka lakukan.

Oleh karenanya, al-Khollal meriwayatkan, beliau berkata dari Harb, beliau mengabarkan kepadaku, aku mendengar Imâm Ahmad berkata:

إذا كان الرجل معلناً بفسقه فليس له غيبة
(arti) “Kalau seseorang terang-terangan menampakkan kefasiqannya, maka tidak ada ghibah baginya.”

Demikian juga berkata Anas dan al-Hasan:

من ألقى جلباب الحياء فلا غيبة له
(arti) “Barang siapa yang telah melepaskan tirai rasa malunya (ia sudah buang rasa malunya), maka tiada ghibah baginya (karena ia sudah terang-terangan menampakkan kefasiqannya / kemaksiyatannya).”

⑤ │ Untuk menjelaskan siapa orangnya
Di antara ghibah yang diperbolehkan adalah untuk menjelaskan siapa orangnya, seperti perkataan ‘Abdullôh ibn ‘Umar رضي الله عنهما:

كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مُؤَذِّنَانِ بِلاَلٌ وَابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ الأَعْمَى
(arti) “Dahulu Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم punya dua tukang adzan, yang pertama adalah Bilâl, yang kedua adalah Ibnu Ummi Maktûm yang buta.” [HR Muslim no 573 (Syarh Muslim no 380)].

Ini bukanlah dalam rangka untuk mencela Ibnu Ummi Maktûm, tetapi untuk menjelaskan muadzdzin yang buta tersebut. Jadi tidak mengapa seseorang menyebutkan –bukan untuk menjelekkan– untuk membedakan.

Misalnya ada seseorang yang datang ke kampung kita mencari orang, ia berkata: “Saya pingin bertemu dengan mas Joko”. Kita katakan: “Joko yang mana? Joko di sini ada 3, ada yang tinggi, ada yang sedang, ada yang pendek.” – kita sebutkan ada yang pendek, tentunya Joko yang pendek tidak mau disebut yang pendek, tetapi dalam rangka untuk membedakan, maka ini bukan mencela, ini tidak mengapa.

⑥ Meminta tolong untuk merubah kemungkaran
Ghibah untuk meminta tolong dalam rangka merubah kemungkaran atau untuk mengembalikan pelaku maksiyat, maka ini tidak jadi masalah. Contohnya adalah kita datang melapor kepada hakim, kita melihat ada sekelompok pemuda yang minum khomr. Maka ini tidak mengapa kita laporkan untuk ditangkap, untuk dihilangkan atau untuk dikurangi maksiyat yang mereka lakukan.

Ini juga ghibah yang diperbolehkan.

Demikianlah ikhwan dan akhwat yang semoga dirahmati oleh الله Subhânahu wa Ta‘âlâ, semoga kita bisa terhindar dari ghibah yang diharômkan, dan semoga kita bisa menjaga lisan kita.

Jadi, di sini kita tahu, pertanyaan yang sering diajukan yaitu jika kita bermusyawarah kemudian kita dalam musyawarah tersebut menceritakan kejelekan orang lain maka ini bukan ghibah. Kalau musyawarah kita dalam rangka untuk mamberi nasehat kepadanya, untuk memikirkan apa yang terbaik baginya, itu berarti ghibah yang ada maslahatnya – ini tidak jadi masalah.

⚠ Yang tidak boleh adalah kalau kita nyebut-nyebut kesalahannya, hanya sekedar untuk menjatuhkannya.

Oleh karenanya, terkadang di antara keluarga kita ada yang mengghibah ibu kita sendiri dalam rangka untuk mencari yang terbaik untuk ibu. Atau di antara keluarga kita mengghibah adik kita sendiri, tentunya kita sayang kepada adik kita, bukan untuk menjatuhkannya, maka ini tidak jadi masalah.

Atau kita berbicara dengan teman untuk mengghibah suami kita atau istri kita, bukan dalam rangka untuk menjatuhkan suami kita atau istri kita, tetapi dalam rangka untuk mencari maslahat yang terbaik.

Tentunya kalau kita sedang bermusyawarah, maka carilah orang yang amanah, bukan yang kemudian, istilah orang, “mulutnya ember”, begitu mendengar apa yang kita sampaikan kemudian disebarkan di mana-mana.

Demikianlah.

والله أعلم بالصواب

وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله و صحبه أجمعين

»»•««

Tidak ada komentar:

Posting Komentar