Kesehatan merupakan salah satu unsur kesejahteraan bagi masyarakat
melalui pembangunan kesehatan dengan perencanaan terpadu. Pembangunan
kesehatan di Indonesia memiliki beban ganda (double burden), dimana
penyakit menular masih masalah karena tidak mengenal batas wilayah
administrasi sehingga tidaklah mudah untuk memberantasnya. Dengan
tersedianya vaksin mampu mencegah penyakit menular sebagai salah satu
tindakan pencegahan yang efektif dan efisien.
Pemberian vaksin melalui program imunisasi merupakan salah satu
strategi pembangunan kesehatan nasional dalam rangka mewujudkan
Indonesia sehat. Program imunisasi mengacu kepada konsep Paradigma
Sehat, dimana prioritas utama dalam pembangunan kesehatan yaitu upaya
pelayanan peningkatan kesehatan (promotif) dan pencegahan penyakit
(preventif) secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan bahwa
program imunisasi sebagai salah satu upaya pemberantasan penyakit
menular. Upaya imunisasi telah diselenggarakan di Indonesia sejak tahun
1956. Upaya ini merupakan upaya kesehatan yang terbukti paling cost
effective. Mulai tahun 1977, upaya imunisasi dikembangkan menjadi
Program Pengembangan Imunisasi dalam rangka pencegahan penularan
terhadap Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I), yaitu
tuberculosis, difteri, pertusis, campak, polio, tetanus dan hepatitis B.
Beberapa bulan yang lalu pada beberapa daerah di Indonesia terserang
kembali wabah penyakit difteri dan campak. Seperti kasus peningkatan
kasus infeksi difteri di Jawa Timur berdasarkan laporan sampai dengan
tanggal 8 Desember 2011 terjadi 560 kasus klinis difteri dengan 13
kematian. Kasus difteri ini sudah menyebar ke beberapa daerah lain di
Indonesia. Penyakit-penyakit yang kembali mewabah ini (emerging
diseases) merupakan penyakit yang angka kejadiannya memiliki
kecenderungan untuk meningkat dalam waktu dekat dan area geografis
penyebarannya meluas. Selain itu, termasuk juga penyakit yang mencuat
kembali (reemerging diseases), yaitu penyakit meningkat kembali setelah
sebelumnya mengalami penurunan angka kejadian yang signifikan.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah melalui Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia sejak tahun 1984 telah mulai melaksanakan
program imunisasi pada anak sekolah. Program ini kemudian dikenal dengan
istilah Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) yang diresmikan pada 14
November 1987 melalui Surat Keputusan bersama dari Menteri Kesehatan,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, dan Menteri Dalam
Negeri.
Mengapa pemerintah menyelenggarakan BIAS?
Imunisasi yang telah diperoleh pada waktu bayi belum cukup untuk
melindungi terhadap penyakit PD3I (Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi) sampai usia anak sekolah. Hal ini disebabkan karena sejak
anak mulai memasuki usia sekolah dasar terjadi penurunan terhadap
tingkat kekebalan yang diperoleh saat imunisasi ketika bayi. Oleh sebab
itu, pemerintah menyelenggarakan imunisasi ulangan pada anak usia
sekolah dasar atau sederajat (MI/SDLB) yang pelaksanaannya serentak di
Indonesia dengan nama Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS).
Penyelenggaraan BIAS ini berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI
nomor 1059/Menkes/SK/IX/2004 dan mengacu pada himbauan UNICEF, WHO dan
UNFPA tahun 1999 untuk mencapai target Eliminasi Tetanus Maternal dan
Neonatal (MNTE) pada tahun 2005 di negara berkembang (insiden dibawah 1
per 1.000 kelahiran hidup dalam satu tahun). BIAS adalah salah satu
bentuk kegiatan operasional dari imunisasi lanjutan pada anak sekolah
yang dilaksanakan pada bulan tertentu setiap tahunnya dengan sasaran
seluruh anak-anak usia Sekolah Dasar (SD) atau sederajat (MI/SDLB) kelas
1, 2, dan 3 di seluruh Indonesia.
Imunisasi lanjutan sendiri adalah imunisasi ulangan yang ditujukan
untuk mempertahankan tingkat kekebalan diatas ambang perlindungan atau
memperpanjang masa perlindungan. Imunisasi yang diberikan berupa vaksin
Difteri Tetanus (DT) dan Vaksin Campak untuk anak kelas 1 SD atau
sederajat (MI/SDLB) serta vaksin Tetanus Toksoid (TT) pada anak kelas 2
atau 3 SD atau sederajat (MI/SDLB). Pada tahun 2011, secara nasional
imunisasi vaksin TT untuk kelas 2 dan kelas 3 SD atau sederajat
(MI/SDLB) ditambah dengan Antigen difteri (vaksin Td). Pemberian
imunisasi ini sebagai booster untuk mengantisipasi terjadinya Kejadian
Luar Biasa (KLB) Difteri. Perubahan pemberian imunisasi dari vaksin TT
ditambah dengan vaksin Td ini sejalan dengan rekomendasi dari Komite
Ahli Penasehat Imunisasi Nasional atau Indonesia Technical Advisory
Group on Immunization. Hal ini disebabkan adanya perubahan trend kasus
infeksi difteri pada usia anak sekolah dan remaja.
Pemberian imunisasi bagi para anak usia SD atau sederajat (MI/SDLB)
ini merupakan komitmen pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan dalam
upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui Usaha Kesehatan
Sekolah (UKS). Selain itu, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1059/MENKES/SK/IX/2004 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Imunisasi bahwa imunisasi sebagai salah satu upaya
preventif untuk mencegah penyakit melalui pemberian kekebalan tubuh
harus dilaksanakan secara terus menerus, menyeluruh, dan dilaksanakan
sesuai standar sehingga mampu memberikan perlindungan kesehatan dan
memutus mata rantai penularan.
Penyakit difteri
Difteri adalah salah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteri Corynebacterium diptheriae. Penyakit ini diperkenalkan pertama
kali oleh Hipokrates pada abad ke 5 SM dan epidemi pertama dikenal pada
abad ke-6 oleh Aetius. Bakteri tersebut pertama kali diisolasi dari
pseudomembran pasien penderita difteria pada tahun 1883 oleh Klebs,
sedangkan anti-toksin ditemukan pertama kali dibuat pada akhir abad
ke-19 sedangkan toksoid difteria mulai dibuat sekitar tahun 1920. Cara
penularan terjadi apabila terdapat kontak langsung dengan penderita
difteri atau dengan pasien carrier difteri. Kontak langsung melalui
percikan ludah (saat batuk, bersin dan berbicara), eksudat dari kulit
yang terinfeksi atau kontak tidak langsung melalui debu, baju, buku
maupun mainan yang terkontaminasi.
Gambaran klinis, masa inkubasi difteri umumnya 2-5 hari pada difteri
kulit masa inkubasi adalah 7 hari setelah infeksi primer pada kulit.
Pasien akan mengalami gejala seperti demam dan terkadang menggigil,
kerongkongan sakit dan suara parau, perasaan tidak enak, mual, muntah,
sakit kepala, hidung berlendir kadang-kadang bercampur darah, serta
dapat teraba adanya benjolan dan bengkak pada daerah leher (bullneck).
Vaksin difteri
Anti-toksin difteria pertama kali digunakan pada tahun 1891 dan mulai
dibuat secara massal tahun 1892. Anti-toksin difteria ini terutama
digunakan sebagai pengobatan dan efektifitasnya sebagai pencegahan
diragukan. Pemberian anti-toksin dini sangat mempengaruhi angka kematian
akibat difteria. Kemudian dikembangkanlah toksoid difteria yang
ternyata efektif dalam pencegahan timbulnya difteria. Untuk imunisasi
primer terhadap difteria digunakan toksoid difteria yang kemudian
digabung dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis dalam bentuk vaksin
DTP.
Untuk imunisasi rutin anak dianjurkan pemberian 5 dosis pada usia 2, 4,
6, 15-18 bulan dan saat masuk sekolah. Beberapa penelitian serologis
membuktikan adanya penurunan kekebalan sesudah kurun waktu tertentu dan
perlunya penguatan (booster) pada masa anak.
Penyakit Tetanus
Tetanus (lockjaw/kejang otot pada rahang dan wajah) adalah salah satu
penyakit menular yang disebabkan oleh tetanospasmin sejenis neurotoksin
yang diproduksi oleh bakteri Clostridium tetani. Penyakit ini sudah
mulai dikenal sejak abad ke-5 SM tetapi baru pada tahun 1884 dibuktikan
secara eksperimental melalui penyuntikan pus pasien tetanus pada seekor
kucing oleh Carle dan Rattone.
Clostridium tetani adalah bakteri yang sensitif terhadap suhu panas
dan tidak bisa hidup dalam lingkungan beroksigen. Sebaliknya, spora
tetanus sangat tahan panas dan kebal terhadap beberapa antiseptik.
Bakteri ini banyak terdapat pada kotoran, debu jalan, usus dan tinja
kuda, domba, anjing serta kucing.
Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka sehingga mampu
menginfeksi sistem urat saraf dan otot menjadi kaku (rigid). Gejala
utama penyakit ini timbul kontraksi dan spastisitas otot yang tidak
terkontrol, kejang, gangguan saraf otonom, dan rigid paralysis
(kehilangan kemampuan untuk bergerak). Perawatan luka merupakan
pencegahan utama terjadinya tetanus di samping imunisasi pasif dan
aktif.
Vaksin Tetanus
Pembuktian bahwa toksin tetanus dapat dinetralkan oleh suatu zat
dilakukan oleh Kitasatol (1889) dan Nocard (1897) yang menunjukkan efek
dari transfer pasif suatu anti-toksin yang kemudian diikuti oleh
imunisasi pasif selama perang dunia I. Toksoid tetanus kemudian
ditemukan oleh Descombey pada tahun 1924 dan efektifitas imunisasi aktif
didemonstrasikan pada perang dunia II.
Toksoid tetanus yang dibutuhkan untuk imunisasi adalah sebesar 40 IU
dalam setiap dosis tunggal dan 60 IU bersama dengan toksoid difteria dan
vaksin pertusis. Pemberian toksoid tetanus memerlukan pemberian
berkesinambungan untuk menimbulkan dan mempertahankan imunitas. Tidak
diperlukan pengulangan dosis bila jadwal pemberian ternyata terlambat.
Efektifitas vaksin ini cukup baik, ibu yang mendapatkan toksoid tetanus 2
atau 3 dosis memberikan proteksi bagi bayi baru lahir terhadap tetanus
neonatal.
Vaksin DT (Difteri Tetanus) dan Td (Tetanus difteri)
Vaksin DT diberikan kepada anak kelas satu SD atau sederajat
(MI/SDLB) dan vaksin Td diberikan pada anak kelas dua dan tiga SD atau
sederajat (MI/SDLB). Pemberian imunisasi ini akan melengkapi status TT
5 (TT lima dosis) yang dapat melindungi dirinya selama 25 tahun
terhadap infeksi tetanus. Apabila kelak seorang anak perempuan hamil
maka bayi yang akan dilahirkan akan terlindungi dari infeksi tetanus
neonatorum (tetanus pada bayi baru lahir) .
Penyakit Campak
Penyakit Campak (measles) adalah salah satu penyakit menular yang
disebabkan oleh virus paramiksovirus Gejala dari penyakit ini ditandai
dengan demam, batuk, konjungtivitis (peradangan selaput ikat
mata/konjungtiva) dan ruam kulit. Penyakit ini penularan infeksi karena
menghirup percikan ludah penderita campak. Penderita bisa menularkan
infeksi ini dalam waktu 2-4 hari sebelum rimbulnya ruam kulit dan 4 hari
setelah ruam kulit ada.
Vaksin campak
Vaksin Campak diberikan pada anak kelas satu SD atau sederajat
(MI/SDLB), pemberian vaksin ini merupakan imunisasi ulang atau booster
untuk meningkatkan kekebalan tubuh sehingga dapat memutuskan mata rantai
penularan terhadap penyakit campak.
Pelaksanaan BIAS
Setiap tahun BIAS dilaksanakan pada bulan Agustus untuk Campak dan
pada bulan November untuk DT (kelas I) dan Td (kelas II dan III).
Pelayanan imunisasi di sekolah dikoordinir oleh tim pembina UKS. Peran
guru menjadi sangat strategis dalam memotivasi murid dan orangtuanya.
Ketidak hadiran murid pada saat pelayanan imunisasi akan merugikan murid
itu sendiri dan lingkungannya karena peluang untuk memperoleh kekebalan
melalui imunisasi tidak dimanfaatkan.
Pemberian imunisasi pada anak sekolah bertujuan sebagai investasi
bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif, meningkatkan
kemampuan hidup sehat bagi peserta didik dalam lingkungan hidup sehat
sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh dan berkembang secara
harmonis dan optimal menjadi sumber daya manusia yang lebih berkualitas.
Pelaksanaan BIAS merupakan keterpaduan lintas program dan lintas sektor
terkait sebagai salah satu upaya mengurangi angka morbiditas dan
mortalitas. Diselenggarakan melalui wadah yang sudah ada yaitu Tim
Pembina Usaha Kesehatan Sekolah (TP UKS), dimana imunisasi merupakan
salah satu komponen kegiatan UKS.
Upaya imunisasi perlu terus ditingkatkan untuk mencapai tingkat
population immunity (kekebalan masyarakat) yang tinggi sehingga dapat
memutuskan rantai penularan PD3I. Dengan berbagai kemajuan pada bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi, upaya imunisasi menjadi semakin efektif
dan efisien dengan harapan dapat memberikan langkah nyata bagi
kesejahteraan anak, ibu, serta masyarakat secara umum.
sumber : Dr. Julitasari Sundoro, dr., MScPH